Cewek tahan banting, bolang Bangka Belitung
Sudah lama banget aku gak pos
cerita di blog, ini karena aku tak bisa melawan rasa labilku sendiri, yang
kadangnnya mood nulis kadang gak mood, biasalah penyakit anak muda, ceileh yang
udah tua masih ngaku muda ajah. Okeh aku mau share cerita, sedikit cerita
mengapa aku bisa traveling dengan dana pas-pasan dan hmmmmm mau susah. Ada
pepatah orang bisa saja mengenaliku, tapi mereka tak tahu ceritaku. Baiklah ceritanya
agak alai dikit gak masalah yah, gak sedih-sedih bangetlah kali yah. Dimulai
darimana yah aku memulai cerita ini, baiklah dimulai dari aku yang terbiasa
beradventure ria, terbiasa tidur di bus berjam-jam, dikereta api, atau kapal
laut. Dengan keadaan seperti itu saya tak pernah mengeluh kursinya kurang
nyaman, keretanya tak dapat selimut tebal atau apalah, saya tetap ajah
senyam-senyum seperti orang dikasih es krim, meskipun yah saya kurang tidur dan
berdampak langsung ke mukaku (baca kusut). Selain itu aku yang biasa tidur di
hostel yang murah, dengan tempat tidur
yang seadanya, bahkan pernah tidur diatas loteng, bukan itu saja tidur didalam
tenda juga bukanlah hal yang menyusahkan untukku. Semua ada cerita mengapa aku
mau ajah sakit-sakitan ato bercapek ria, orang bisa saja menilai kita, tapi
kita yang punya cerita kan.
1. Mungkin
saya harus lebih banyak bersyukur, Allah Maha Adil
Saya adalah orang yang beruntung,
bisa menikmati hidup ini dengan gayaku sendiri, sebelum tau voli, hp, laptop,
kuliah, sekolah, Negara orang, atau kampung orang di luar Bangka, aku sudah
bisa menikmati hidupku sendiri, dan saya tak pernah mengeluh ( yang terakhir
boong ya). Terlahir dari keluarga yang sederhana, dan terlahir dikampung lah
yah saya tumbuh seperti gadis desa seperti biasalah sebagaimana gadis desa
dikampung-kampung, terutama di Bangka. Saya tinggal bersama dengan nenek dan
kakek saya, dan ada beberapa bibi dan sepupu yang tinggal berdempetan rumahnya
dengan rumah nenek, dan wajar saya orangnya rame, karena lingkup keluargaku pun
rame, selalu ramai dengan pertengkaran antar sepupu, atau sekedar bangun pagi
ke sekolah. Jangan berharap ada omelet dan susu segar diatas meja sebelum pergi
kesekolah, karena kami sarapan seadanya barengan sarapannya dengan kakek yang
siap-siap pergi ke kebun. Hanya satu yang special dari saya dibandingkan dengan
anak-anak lain saat mau mandi pagi ke sekolah, dimana teman-teman kampung saya
sibuk mandi disungai, sedangkan saya sudah disiapin air hangat sama nenekku,
dan itu berlanjut sampai saya SMP, sampai sekarang saya takkan bisa membalas
kebaikan nenekku. Setidaknya saya mendapatkan layanan yang lebih di pagi hari
di bandingkan dengan teman-temanku yang lain (Alhamdulillah yah rezeki anak
sholehah).
Waktu masih SD, SMP, dan SMA,
saya hanya bisa kagum mendengar teman-teman bercerita sudah pernah ke Batam, ke
Palembang, Jakarta, Jogja, dll. Ada yang pergi alasannya melihat saudara, ada
yang liburan, ada yang kakaknya kuliah di Jogja. Mereka bercerita bagaimana
kota besar, dan saya terkagum-kagum sekali mendengar mereka bercerita. Sampe
mereka pamer telapak kaki mereka yang ada tahi lalatnya yang bertanda akan
pergi jauh ( bisa dibaca melanglang buana). Saya reflek buka sandal sambil pamer
ada juga di jempol kiri kakiku, mereka bilang ah itu mah tanda biasa. Dan benar
tahi lalat itu hilang saat jempol kiriku kejetot batu, dan isinya terkelopak.
Saya langsung nangis yah masak saya tak bisa keluar Bangka, kan tahi lalatku
ilang. Rezeki tak kemana yah waktu terus berlalu eh tanpa kusadari ada tahi
lalat tumbuh di tumit kaki kiriku ( dan saya percaya mitos tahi lalat itu
sampai sekarang, tidak saat saya masih SD, dan SMP). Jujur pertama kali saya
keluar kota itu waktu kelas 2 SMA, saya yang lagi focus ke voli daripada
belajar dipilih pelatih untuk ikut porprov, bangganya alang kepalang deh main
voli, digaji keluar Bangka pula yh meskipun hanya Belitung setidaknya saya
sudah bisa pamer kalau saya sudah pernah keluar Bangka. Tak lama dari itu berangkat
lagi, berangkat lagi, dan saya semakin semangat latihan. Itulah kadang saya
selalu bilang kalau rezeki takkan kemana, biar semua berproses dan waktu akan
menjawab.
2. Tidur
seadanya itu sudah biasa untukku
Sekarang saja saya sudah bisa
mengeluh harus tidur dikasur, dengan selimut yang tebal, pintu kamar yang
terkunci, dan tak bisa gabung sama orang . itu bisa kurasakan sejak aku punya
kamar sendiri, dan mau tau baru berapa lama? Yah baru setahun ini saya punya
kamar pribadi yang selama ini aku idamkan, meskipun kamarnya seadanya tak ada
kingkoil, tak ada kamar mandi didalam kamarku, dan tak ada lemari baju 3 pintu,
setidaknya saya sudah punya kamar sendiri. Mungkin kalian bertanya selama ini
tidur dimana?
Dari kecil saya sudah tinggal
dengan nenekku, masih kecil saya masih bobok dengan nenek, setelah SD saya
sudah memisahkan ranjang dengan nenek, meskipun sebenarnya ranjang kami
dempetan ( memang ada 2 ranjang tapi posisinya dempetan). Kami bukan tidur dikamar, melainkan tidur di
dapur, kebetulan rumah nenek dapurnya besar jadi bisa muat 2 ranjang dan
sisanya masih bisa dipake untuk kami kejar-kejaran dengan sepupu, serius ini
gak boong. Memang rumah orang zaman dulu itu besar-besar karena anak orang
zaman dulu itu banyak, belum ad amah istilah 2 anak cukup. Mengenai posisi
tidur kami yang plong jadi kalau ada bibi, atau sapa yang mau ke belakang pasti
lihat gimana posisi kami tidur. Sebenarnya kamar ada 3 sih di pake kakek 1,
dipake bibi 1, dan kamar yang tengah kosong, dan saya pun baru sekarang mikir
mengapa bukan saya ajah yang menempatinya daripada tidur didapur. Jangan
berharap saya tidur dengan kasur yang empuk, mungkin kasur adalah barang yang
mewah untukku saat aku masih SD, saya tidur di ranjang yang bawahnya susunan
papan (ranjang zaman dulu tau kan yang dari besi ukir-ukiran, bawahnya pake
papan, trus ada tiang diatasnya untuk kelambu) susunan papan itu dilapisi tikar
anyaman 3 buah, kain sarung satu, plus bantal yang sarungnya dari kain
gandum, dan itu pun saya sudah bisa
tidur nyenyak, setidaknya saya tak tidur dibawah jembatan seperti dikota besar
itu. SMP saya sudah tidur dikamar tengah, tetapi harus sharing dengan sepupu
juga, jadi punya kamar sendiri itu masih harapan dan jauh dari angan-angan. SMA
aku sudah mulai kos, dan masih share kamar biar murah, pas Kuliah sudah punya
kamar sendiri ( masih kos juga) dan belum bisa ku bilang kamar sendiri.
Keinginan terkuat pengen punya kamar sendiri
adalah ketika saya SMA, saya mulai sering main kerumah teman-teman sekelas
saya. Yang paling sering saya datangi
adalah rumahnya imus, ada keunikan dari kamarnya si imus, dalam setahun dia
bisa berganti ranjang, meja rias, dan lemari lebih dari 5 kali (ngiri gak
lihatnya) hari ini saya datang saya lihat ranjangnya warna biru, besoknya jadi
biru tua dan beda bentuk pula, kebetulan dia suka warna biru, dan semua
kamarnya itu berwarna biru, sedangkan kamar adiknya pink semua, ngiri banget
lihat mereka punya kamar sendiri, dengan selimut tebal, dan lain-lain. Sekarang
mah saya sudah bisa bilang itu kamarku, dulu ajah aku bilang aku tidur disitu.
Makanya tak heran lagi lah kalau saya bisa tidur di bus sampe belasan jam,
tidur di bandara, atau tidur di utan.
3. My
life my adventure
Sebelum tahu backpackeran, belum
tahu kemah, belum pernah ikut hiking, kami yang tinggal di kampung mah dah
biasa ke hutan dan sungai liar seperti bolang di tipi-tipi itu. Jangan bilang
aku adalah wanita yang tahan banting dengan segala suasana terutama
kotor-kotoran yah (termasuk main volipantai juga disini berani kotor, berani kumel,
dan berani seksih asekk). Rumah nenek kan di kampung, dibelakang rumah udah
hutan semua, dan saya kalau iseng main sendiri ke utan sok-sok petualangan,
kadang bareng teman dan tetangga rumah juga. Mandi di sungai yang mengalir
deras itu biasa, hampir mati karena ikut arus juga pernah waktu SD, lihat buaya
lewat saat lagi asik main air mah dah biasa, sekarang ajah berani bilang iw
buaya iww buaya tuh lihat tuh dia lewat. Dulu ajah kalau buaya lewat diam seribu bahasa. Memang jiwa petualang
saya sudah tumbuh sejak dari kecil, dan mengapa saya tidak suka gunung mungkin
karena dirumah nenek juga tak ada gunung dan dari kecil tak pernah daki-daki
bukit yang tinggi.
Setiap orang pasti punya cerita
sendiri dimasa kecilnya, saya memang dari dulu sering membuat daftar sungai
mana yang harus saya datangi lagi. Dari kecil saya yang belum pernah keluar
kota dan mainnya Cuma ke desa-desa sebelah saja itupun ikut bibi. Waktu itu
saya libur sekolah, dan ikut bibi kekampung suaminya, 2 kampung dari kampung
nenek. Sorenya saya diajak mandi sama bibi ke sungai. Sungainya jernih banget,
dan itu menjadi sungai favoritku masih kecil dan sampai sekarang saya masih
penasaran apa nama sungai itu, (letaknya di desa kerantai, masuk utan, dan
airnya jernih banget) saya berenang sampai puas. Maka udah tak heran lagi
mengapa saya lebih suka wisata yang ada airnya, meskipun phobia ular. Karena
dari kecil saya sudah suka mandi di sungai dari sungai yang tenang, yang
jernih, yang airnya dingin banget, yang arusnya kenceng, yang banyak buayanya,
yang dalem banget semua udah aku rasakan sejak dari kecil. Aura adventureku
memang sudah ada sejak aku masih kecil.
Saya kadang tersenyum melihat
teman komentar kok kamu berani yah, atau kamu tuh kayak bolang deh, aku senyum
ajah jadinya males cerita panjang, makanya aku masukin dalam blog ajah,
terserah mau dibaca atau tidak ama orang, hehehehe lagian aku juga masih
belajar nulis.
4. Mengapa
saya berani sendirian, dan tidak takut
Bagi mereka yang biasa jalan
sendiri mah lihat aku jalan sendiri juga adalah hal yang biasa, tetapi bagi
mereka yang belum pasti mikirnya banyak. Seperti kejadian berapa hari yang lalu
waktu saya pulang dari lampung ke Palembang naik kereta malam, sampenya pagi,
handphone sepupu masih off jadinya saya naek angkot 2x sampe deh kekosan dia,
sampe kosan dia bilang wah kamu berani banget yuk (pangkat dia adik) aku mah
senyum sok bangga gitu sambil bilang iya dunk saya gitu loh, padahal dah biasa
kayak gini, pamerin ajah didepan dia kalo aku tuh hebat (ceileh sok kali pun).
Aku dah biasa bepergian sendiri sejak SD kelas 5, dimana saya mulai berani naek
bus ke mentok sendirian. Kebetulan rumah bibi di mentok dan saya harus pindah
2x naik angkutan kalau dari lampur ( kampung nenek). Dulu kalau mau kerumah bibik di mentok atau
rumah ibuk di desa berang (sebelum mentok) pasti berangkatnya sama kakek, tapi
sejak kelas 5 kalau libur saya sudah berani sendiri, kadang ajak abang sepupu.
Pernah kejadian kelas 4 SD pergi ke mentok, sampe terminal kakek langsung ajah
nyelonong masuk bus, dari dalam bus aku sempet baca tulisannya tanjung niur,
bukan mentok, instingku langsung jalan dan nanyak ke supir apakah bus ini
kementok, dan supir bilang bukan ini tanjung niur, aku langsung megang tangan
kakek dan ngajak turun, kakek sempet marah, tapi saya bilang bus ini ke kampung
lain, baru kakek turun. Dari kelas 5 SD saya sudah terbiasa pergi ke
pangkalpinang sendiri, sampe ke mentok, dan tak pernah salah bus ato kelewatan
kampungnya. Kalau kelewatan rumah itu pernah berapa kali sih. Saya tahunya rumah
nenek ajah yang di berang, pas mamakku pindah rumah saya nggak tahu rumahnya
dimana, tetepa ajah aku berani nanya ke orang kampung sana yang dulunya tidak
kenal siapa aku (karena memang jarang
sekali pulang kerumah ibu).
Mungkin cerita ini sedikit menjawab
mengapa aku seperti bolang, mengapa selalu sendiri dan berani jalan sendiri,
atau apalagi yah intinya gini Indahnya hidup bagaimana kita bisa menikmatinya,
sesederhananya kita, sekaya apapun kita kalau merasa kurang dan kurang tetep
ajah merasa miskin, kata orang Bangka jangan terlalu nyengak ke atas (dan saya
merasa saya selalu nyengak keatas, dan merasa pengen lagi dan lagi, tapi
syukurlah saya tak pernah merasa miskin dan kekurangan apa yang ada nikmatin
ajah (ngeluh mah biasa mau diapain juga kalau belum mampu beli ga kan berubah).
Hal yang tak bisa ku balikkan
lagi adalah pertama dimana aku tak pernah punya rasa iri terhadap
teman-temanku, ketika mereka bisa keluar kota saat aku belum pernah pergi, saya
tak pernah bertanya apa kerjaan bapaknya sampai-sampai mereka harus keluar
banyak uang untuk liburan sekeluarga, tak pernah pernah iri dengan
teman-temanku yang punya kamar bagus, yang saya sendiri hanya bisa bermimpi dan
hanya bisa ngomong dalam hati kapan yah bisa punya kamar sendiri seperti mereka.
Saat itu aku malah terkagum-kagum dan dengan lugu bilang maul ah kesana seperti
kalian, maulah punya kamar seperti kamu, maulah dikasih uang jajan lebih atau
yang lainnya. Kedua dimana rasa tidak pernah ngeluh atas kekuranganku saat itu,
kemanapun selalu bahagia (kecuali dimarahin nenek), itulah mengapa semua orang
dewasa ingin menjadi anak kecil. Ketiga saya merasa kurang bersyukur, sekarang
apa-apa selalu membandingkan dengan orang lain, dulu masih kecil tak pernah
membandingkan rumah, makanan, baju, dan lain-lain. Baju dikasih aku pake,
makanan apa yang ada dimeja aku makan, tidur seadanya aku nyenyak. Mengapa
sekarang saya minta ini, minta itu? Belum lagi selalu membandingi dan iri
dengan teman-teman yang sudah kemana-mana? Ckckckckcckkckckckkckkck.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar